Tentang Mendidik Anak...


Your children are not your children
They are the sons and daughters
of Life’s longing for itself
They come through you but not from you
And though they are with you
They belong not to you

You may give them your love
but not your thoughts
For they have their own thoughts
You may house their bodies
but not their souls
For their souls dwell in the house
of tomorrow, which you cannot
visit, not even in your dreams

Kahlil Gibran
(1883-1931)

Saya ingat pertama kali membaca puisi Kahlil Gibran ini semasa SMA. Jujur saja pada saat itu saya sekedar membaca tapi tidak memahami maknanya. Baru saja saya secara tidak sengaja membaca kembali puisi ini dan barulah saya memahami betapa dalam makna puisi Gibran ini.
‘Anakmu bukanlah anakmu... Mereka adalah putra-putri Kehidupan, mereka hadir melaluimu tapi bukan dari dirimu...’ Sungguh dada saya sesak membaca bait pertama ini. Sayalah yang mengandung Razan selama sembilan bulan dalam perut buncit yang berat, membawanya ke manapun saya pergi. Merasakan tak nyamannya morning sickness yang menyiksa, tidur-tidur malam yang tak nyenyak... Hingga berpeluh dan kesakitan yang luar biasa saat melahirkannya. Tidak berhakkah saya menyebutnya “anakku”??? “Milikku” yang paling berharga???
Terkadang ego memang sungguh keras kepala.

Ketahuilah, Ibu. Anak-anakmu BUKANLAH milkmu... Sekeras apapun Engkau bersikukuh, mereka bukanlah milikmu. Mereka memang terlahir melalui rahimmu, dengan sejuta kesusahan yang harus Engkau tanggung. Namun mereka tidak berasal dari dirimu. Mereka adalah putra-putri yang Pemilik Kehidupan titipkan dalam penjagaanmu, dalam pengawasan dan dekapan tanganmu...
Mereka adalah putra-putri KEHIDUPAN.



Razan Muhammad Irsyad, anak yang selalu saya banggakan dengan sebutan “anakku” itu, bukanlah milikku. Ia tak lain hanya hadiah indah dari Tuhan untuk hidupku bersama suamiku, penggembira hatiku, penyejuk jiwaku...
Menangis hati ini, mengingat saya pernah membentaknya, bersikap kasar padanya, sungguh karena hal remeh-temeh seperti menumpahkan makanan. Sebentar ia menangis karena perlakuan kasar itu. Tapi sedetik kemudian ia sudah tersenyum kembali pada saya, menggelendot manja pada tubuh saya.

Tahukah Engkau, Ibu?
Mereka, anak-anak, selalu memaafkanmu sekeras apapun Engkau menghukum mereka! Maka mereka semakin bertambah dewasa, dan simpanan maaf itu menipis. Apakah Engkau akan mengisi hatinya dengan kebencian? Atau kemarahan? Atau sekedar luka-luka yang tumbuh menjadi emosi negatif bagi perkembangan jiwanya?
Wahai Ibu... Maafkanlah anak-anakmu. Hanya untuk lantai yang kotor karena tumpahan susu atau makanan itu. Maafkanlah anakmu, hanya untuk energinya yang sangat besar untuk ingin tahu tentang dunia sehingga membuat rumahmu yang rapi menjadi berantakan. Maafkanlah anakmu, untuk membuat hari-harimu penuh warna dan peluh. Sungguh ia tak sengaja membuatmu lelah! Ia hanya sedang tumbuh, Ibu...
Bersikaplah tegas untuk mendidiknya, namun dengan penuh kasih sayang, Duhai Ibu... Karena Engkau tak ingin membuat titipan Tuhanmu hancur berkeping-keping...

Bekasi, 5 Desember 2017


Comments

Popular posts from this blog

Malaikat Mungil yang Mengubah Hidupku