Materialisme dan Konsumerisme di Era Digital
Perkembangan teknologi yang semakin cepat mendorong munculnya
berbagai startup yang menawarkan produk-produk dan jasanya hanya dengan sekali
sentuhan. Berbagai kemudahan pun ditawarkan, mulai dari aplikasi cicilan 0
persen, bayar di tempat, hingga “buy now
pay later” yang diusung mobile
e-commerce semacam Akulaku dan Kredivo. Kesemuanya dilakukan demi memberi kenyamanan
berbelanja yang paripurna untuk para user ini.
Namun sayangnya, ada harga yang sangat mahal yang harus
dibayarkan untuk berbagai kemudahan tadi: KARAKTER. Karakter generasi milenial
semakin cenderung pada materialisme dan konsumerisme. Apa pasal? Generasi kita
didorong untuk memuja materi terus-menerus. Semua hal dinilai dari seberapa
berharga dan eksklusif barang-barang yang kita miliki. Semakin mahal, maka
semakin meningkatkan gengsi. Semakin eksklusif, maka semakin meningkatkan citra
diri (semu) positif kita. Itulah kenapa sosial media—terutama seperti—instagram
sangat diminati, karena materialisme bersemboyan “dari mata turun ke hati”. Di sini,
mata dimanjakan dengan gambar-gambar indah tentang materi itu sendiri—ada rumah-rumah
indah dan mewah, pakaian-pakaian indah dan eye-catching,
dsb... dsb...
Hal yang sama untuk konsumerisme, kemudahan-kemudahan dalam
berbelanja mendorong manusia untuk makin konsumtif. Awalnya hanya sekedar
window shopping, lihat-lihat saja. Kemudian tertarik pada suatu barang, hingga
akhirnya memutuskan untuk membeli. Semuanya terjadi hanya dalam hitungan detik
atau menit. Jika dahulu untuk membeli suatu barang kita membutuhkan atau
setidaknya memiliki pertimbangan dan waktu, kini berlangsung hanya dalam
kejapan mata. Hingga tak terasa saldo rekening menipis atau bahkan habis. Jika sudah
begitu, tak sungkan kita berhutang melalui aplikasi kartu kredit atau vendor
cicilan untuk memuaskan hasrat belanja yang belum padam. Hal ini yang berulang
terus-menerus, sehingga akhirnya mendarah daging menjadi sebuah karakter baru
yang tentunya sangat merugikan. Tanpa kita sadari, kita didorong untuk menjadi
materialistis dan konsumtif. Kita membeli bukan lagi karena kita butuh, tapi
lebih-lebih karena hasrat impulsif dan keinginan semata.
Sebagai seorang ibu, tentunya saya ketar-ketir dengan
keadaan ini. Inikah karakter yang akan saya tanamkan pada anak-anak? Sulit untuk
menjawabnya, karena meskipun saya tidak menginginkannya, namun inilah secuil
tantangan zaman yang harus dihadapi generasi milenial...
Comments
Post a Comment